LAPISAN TENGAH
Gaya Jepang: metodologi untuk JEPANG
Keragaman budaya Jepang didukung oleh kepekaan, bakat dan metode unik yang mengalir dalam urat nadi budaya Jepang.
Contohnya, karakteristik budaya Jepang adalah analogi. Kekuatan asosiasi dan penalaran, seperti yang dilambangkan oleh kemampuan untuk melihat, telah memunculkan beragam seni pertunjukan, adat istiadat, dan budaya. Kemampuan untuk membayangkan lanskap yang luas di dunia wabi yang sederhana, kekuatan deduktif para pengrajin yang berjuang untuk mendapatkan cita rasa terbaik, dan komunikasi yang sangat kontekstual, semuanya lahir dari kekuatan ‘analogi’. Di Jepang, analogi selalu diutamakan daripada logika.

Analogi ini juga terlihat jelas dalam proses di mana orang Jepang mengadaptasi nilai-nilai yang diimpor dipinjam dari luar agar sesuai dengan gaya mereka sendiri. Aksara kana Jepang dikembangkan dari aksara yang diimpor dari Cina, sementara agama Buddha diatur untuk hidup berdampingan dengan dewa-dewa Shinto. Dalam setiap aspek kehidupan, hal-hal asing yang menarik bagi pikiran orang Jepang diatur secara kreatif agar sesuai dengan Jepang: dari latte di kafe muncullah latte matcha, dari mie ramen Cina muncullah ramen shoyu dan ramen miso, dari gaya Gotik muncullah lolita gotik, dan seterusnya.

Jepang juga bersaing dengan menggabungkan kekuatannya, menampilkan bakat untuk analogi dan pengaturan. Alih-alih mencari nilai pada superstar individu, mereka mencari nilai pada ‘ama’ dan ‘kasane’. Baik grup idola besar maupun platform berlapis-lapis bakat yang terlihat di variety show bersaing melalui kecerdikan ‘asosiasi’.
Di sini kami menyajikan beragam metode dan nilai yang mencampur aduk ‘Jepang dari banyak orang’.